*********
Terinspirasi
gambar itu, ia pun tergerak untuk menggambar sesuatu. Gambar itu lantas ia
tunjukkan kepada orang-orang dewasa. Mereka mengira itu gambar topi.
Karena memang mirip betul dengan topi koboi. Tapi kata si anak: itu bukan topi,
itu gambar ular sanca menelan seekor gajah.
Sepanjang
novel memikat ini, kita disuguhi humor-humor segar khas anak kecil. Salah satu
hal menarik yang dapat kita petik setelah membaca novel Pangeran Cilik adalah
perkara sudut pandang, tentang bagaimana sesuatu dilihat. Dan mungkin kita akan
mengingat kembali almarhum Gus Dur.
Guru
Bangsa yang humoris itu memang memberi kita banyak pelajaran soal sudut
pandang. Salah satu yang paling mudah diingat adalah ujaran Gus Dur soal DPR.
Dengan enteng beliau bilang DPR itu tak ubahnya taman kanak-kanak.
Ya, secara kasat mata, anggota dewan adalah orang-orang terhormat.
Berpakaian necis, berjas, berdasi, bergaji tinggi dan menjadi wakil dari rakyat
Indonesia. Alangkah kere, betapa hebat. Tapi, dengan sudut pandang lain Gus Dur
bilang mereka seperti anak-anak TK. Ternyata benar, mereka yang minta dipanggil
dengan sebutan yang mulia itu berisik sekali, manja, cengeng, suka cari
perhatian khas anak TK. Terbukti, Gus Dur memang punya sudut pandang yang
anti-mainstream,
out of the box dan selalu mengena.
Cara padang
nyleneh macam itu juga ditunjukkan Gus Dur ketika ia harus meninggalkan istana
dan menanggalkan jabatan presiden. Ia dengan santai memakai celana pendek dan
kaos oblong di depan istana sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Kiranya
tak pernah ada presiden ‘segokil’ itu di dunia ini. Dan jika dilihat lebih
dalam, Gus Dur seperti ingin mengirim pesan kepada kita semua: tidak ada
jabatan yang harus dipertahankan mati-matian. Juga sejatinya istana presiden
adalah istana rakyat, sehingga bercelana pendek dan berkaos oblong tak perlu
dilihat dengan tatapan heran dan aneh.
Kisah-kisah
mengenai bagaimana cara pandang Gus Dur yang asyik tentang pelbagai persoalan
tentu tak ada habisnya dikisahkan. Yang perlu kita tanyakan kemudian adalah
mengapa cara pandang yang moderat, jalan tengah, penuh perdamaian dan memiliki
keberpihakan yang jelas serupa itu makin terkikis akhir-akhir ini? Di
masyarakat kita hari ini, justru subur cara memandang suatu persoalan dengan
pandangan yang sempit. Sehingga banyak orang dengan mudah bilang: muslim
mengucapan selatan Natal haram, terompet juga haram karena termasuk alat musik
Yahudi, dan ungkapan-ungkapan menyedihkan lain.
Kita tentu miris melihat kenyataan itu. Kita mungkin
bertanya-tanya, mengapa mereka tidak melihat ucapan selamat Natal dari seorang
muslim sebagai bentuk persaudaraan? Mengapa mereka yang Kristen dianggap
sebagai ‘orang lain’ dan bahkan musuh hanya lantara mereka ‘berbeda’? Mengapa
orang-orang menjadi menyebalkan, sebagaimana di novel Pangeran Cilik,
yang melihat gambar ‘ular sanca menelan gajah’ sebagai gambar ‘topi’ belaka?
Benarkah mereka terjangkit penyakit malas berpikir dan keras kepala?
Laku beragama dengan sudut pandang yang tak luas sebetulnya
mengkhawatirkan. Intelektual muslim, Abdul Munir Mulkhan, menengarai, mereka
yang berpaham radikal (dan pelaku teror) cenderung memiliki cara pandang hitam
putih. Menurutnya, bagi pelaku tidak kekerasan dengan dalih berjihad,
hanya tersedia dua pilihan: hidup mulia atau mati syahid (isy kariman au mut
syahidan), menang menghancurkan musuh Allah atau mati masuk surga.
Penganut teologi teror memandang semua selain diri dan kelompoknya
adalah sah untuk dihancurkan, apalagi mereka yang telah menangkapi dan membunuh
teman-temannya. Tidak peduli apakah mereka seagama atau beda agama. Dalam
logika verbal dua muka: surga-neraka, halal-haram, setan-malaikat, benar-salah,
pahala-dosa, yang terus ditanamkan, dapat mendorong masyarakat terjebak pola
‘hidup mulia atau mati syahid’.
Ngeri sekali
membayangkan orang-orang yang hanya tahu surga-neraka, halal-haram, dan
pahala-dosa itu kian hari kian bertambah banyak. Alangkah tidak
menariknya jika dunia ini dipenuhi oleh mereka yang menempatkan semua selain
diri dan kelompoknya sebagai musuh dan wajib diperangi. Maka, semestinya lebih
banyak lagi orang-orang yang menggemakan semangat beragama ala Gus Dur.
Beragama dengan santai, penuh humor, tidak kaku dan tidak kagetan.
Abraham Zakky Zulhazmi adalah alumni
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis bukuPropaganda Islam Radikal di
Media Siber (Intijati, 2015). Editor di Surah
e-magz
Sumber : http://bit.ly/1TDOP8L
0 komentar:
Posting Komentar