Sudah enam tahun KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) meninggalkan bangsa Indonesia dan kita semua. Sebelum wafatnya, Gus
Dur berpesan bahwa beliau “tidak pergi, tapi pulang”. Dalam hal ini, Gus Dur
sebenarnya tidak pernah meninggalkan kita, tapi pulang ke rumah asalinya. Gus
Dur masih terasa hadir mendampingi warga Indonesia, warga yang ia cintai. Tidak
sebatas warga muslim, namun juga seluruh warga negara, tanpa sekat agama dan
etnis. Gus Dur menjadi manusia yang selalu memberi kontribusi bagi kerja-kerja
kemanusiaan. Bahkan, ide-ide dan kebijakan konseptualnya, berdampak secara
positif bagi perbaikan kualitas kemanusiaan di pelbagai belahan dunia.
Membaca pemikiran Gus Dur adalah membaca
ide-ide kemanusiaan dan cita-cita keindonesiaan. Meski Gus Dur lahir dan besar
dari rahim pendidikan pesantren, akan tetapi spirit dan perjuangannya menaungi
lintas batas kelompok. Sisi kemanusiaan Gus Dur menyentuh warga Tionghoa, Aceh,
Papua dan penganut Ahmadiyah. Gus Dur tidak sekedar tampil sebagai pemimpin
bangsa, ia juga menjadi keluarga dari kelompok-kelompok minoritas di negeri
ini. Dari titik inilah, warga negeri ini perlu mengaji lagi dari Gus Dur,
mengambil saripati ide-idenya, dan kemudian mengeksekusi dalam konteks masa
kini.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur seringkali
tidak mampu ditangkap oleh publik negeri ini. Ide-ide kritisnya, dianggap
kontroversial dan menjadi bahan perdebatan. ‘Jurus Mabuk’ ala Gus Dur menjadi
cibiran di tengah dinamika politik pada akhir periode Orde Baru dan awal masa
reformasi. Pada akhir 1980-an, strategi zig-zag Gus Dur dengan merangkul
kelompok militer dan intelijen pendukung Orde Baru, senantiasa dipahami lapis
demi lapisnya pada masa sekarang ini. Langkah Gus Dur pada masa itu mengundang
cibiran, dengan merangkul Benny Moerdani, jaringan Ali Moertopo, juga keluaga
Cendana. Akan tetapi, sekarang ini, langkah Gus Dur ini dipahami sebagai jurus
strategis untuk meredam konflik horizontal di negeri ini.
Langkah-langkah cerdas dalam menempa diri dan proses kreatif Gus Dur perlu dipahami, tidak hanya ketika dirinya sudah muncul sebagai pemimpin negeri ini. Akan tetapi, memahami Gus Dur perlu memahami warisan ingatan dan pesan kemanusiaan dari kakek, ayahanda, ibu dan keluarga terdekatnya. Jaringan pertemanan Gus Dur dengan aktifis dan pemikir lintas kelompok penting sebagai basis nilai dan wawasan. Serta, siapa saja guru-guru Gus Dur, baik di pesantren, kampus maupun koleganya di LSM. Dengan demikian, membaca Gus Dur perlu proses hidupnya, bahkan sejak tahun 1960an.
Pada tahun 1980, Gus Dur sudah menulis
‘Memberi Jalan bagi Orang Tionghoa’ di sebuah media. Dari tulisan ini, terlihat
Gus Dur memahami detak jantung dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa, yang
terhimpit oleh kebijakan politik kolonial dan Orde Baru. Langkah visioner Gus
Dur dalam memahami sejarah, konteks kebudayaan, peta ideologi-politik, menjadi
landasan untuk menentukan visi perjuangannya. Perspektif Gus Dur lebih kaya dan
mendalam, karena ditopang oleh penguasan pengetahuan dan intuisi yang tajam.
Meneladani Gus Dur, secara strategis
adalah menggunakan perspektifnya, sebagai kacamata untuk melihat Indonesia masa
lalu, kini dan mendatang. Perspektif Gus Dur, dengan pelbagai spektrum
keilmuannya, akan menuntun bangsa ini menemukan cahaya di tengah situasi yang
gelap[].
Penulis: Munawir Aziz, editor dan peneliti. Twitter: @MunawirAziz
Sumber: http://bit.ly/1Tv7jcd
0 komentar:
Posting Komentar