Membicarakan pemikiran
politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa Ia berada
pada posisi beyond the symbols[1].
Berbagai macam simbol atau peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh
pemahaman Gus Dur sendiri terhadap realitas sosial yang multi
dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat
monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga
dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur
hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur
Tengah yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional
dan sekular (Al-Zastrouw, 1999: 32).
Dari kompleksitas
kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi
dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme pembangunan,
pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik
demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan satu
sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis,
politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas
dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah
mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai
presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang
dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang
Indonesia, semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai
presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.
Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri
pemikiran politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya.
Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran
demokrasi Gus Dur ketika berhadapan dengan isu relasi antara
agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia,
keinginan untuk menyatukan agama dengan negara pada tataran formal state
merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia
oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final
merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas
pluralisme Pancasila.
Gus Dur dalam
hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya, keinginan sebagian muslim
untuk menjadikan Islam sebagai azas negara dikarenakan Islam sendiri merupakan
agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan rinci hubungan
antara negara dan hukum itu sendiri, agar ajaran Islam yang berupa hukum-hukum
agama itu bisa terlaksana dalam kehidupan.
Gus Dur sendiri
menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya
pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern pemikirannya)
bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam
substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin
tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga
negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Gus Dur ini
memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan
adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana
prinsip sekularisme murni.
Bagi Gus Dur (1999:
186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan
secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur lebih
mencita-citakan “RepublikBumi” yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada
“Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak
menginginkan idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih
menekankan aspek praktis dan substansial dari negara itu sendiri, dalam
perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah
konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam
pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang
didalamnya menyerahkan segala pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan
rakyat melalui perwakilannya (L Santoso, 193-199).
Penelusuran pemikiran
relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh Fahrurroji M Bukhori(2003)
dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd
Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur dikategorikan masuk
dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog Talcolt Parson, yang
menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat fungsional. Seperti
kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep struktur organisme
yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme biologis tersebut
baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi secara proporsional.
Maka, untuk mencapai
harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah tercipta sebuah kecocokan
antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat, dan struktur negara.
Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi, dan inilah yang
mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian
menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk dalam
relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari
metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa
hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan
oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya
(Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).
Salah satu hasil riset
yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah yang dilakukan
oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur (2004).
Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali dengan
pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai fenomena
“perlawanan” terhadap Gus Dur.
Ada tiga kasus
perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa kyai NU
terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu
2004, karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut
menggunakan kaidah fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam
al-shulthaniyyah milik al-Mawardi yang menyatakan salah satu syarat
kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada perkembangan selanjutnya, para
kyai ini masuk dalam gerbong pendukung cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang
seorang pelawan Gus Dur, terlebih ketika Ketum PBNU tersebut
tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan Megawati. Kedua,
perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya sebagai Sekjen
PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam
pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Adaketidaksingkronan
antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB level
wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.
Point gaya komunikasi
politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan menggunakan
analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan
konsep interaksi kontemporer dari ErvingGoffman dalam The
Presentational of Selfin Every Day Life. Teori ini melihat gaya manuver
politikGus Dur sebagai trik seorang aktor sekaligus
sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan wacana
yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang
berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada
para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan
oleh Gus Dur berada pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H
Fuad Anwar, 2004: 50-55).
Gaya komunikasi
seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang
terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik
dan tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian
“menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver
pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini
dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan
lagi untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi
politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu”
bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam
keadaan ketertindasan politik.
[1] Meminjam judul
buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.
Sumber: http://bit.ly/1XO13BF
0 komentar:
Posting Komentar