Ngaji Pluralisme Ajak
Agama Lain
Momentum bulan Ramadan dimanfaatkan para pemuda yang tergabung
dalam komunitas Gusdurian mengkaji pemikiran-pemikian mantan Presiden RI (alm)
KH Abdurrachman Wahid. ’Pengajian’ itu tak hanya diikuti umat Islam, tapi juga
dari berbagai agama. Sepanjang Juni ini, setidaknya lima kegiatan digelar dalam
bentuk diskusi kritis.
Seperti kemarin (20/6), jelang buka puasa, bertempat di Kafe
Pustaka Universitas Negeri Malang (UM), segenap anggota Gusdurian dan juga
peserta diskusi dari berbagai universitas di Malang tampak asyik mengikuti
kegiatan Santap Gagasan yang mengangkat tema Menguak Ideologi di Balik Fatwa:
Kasus MUI, Muhammadiyah, dan NU.
Sebelumnya, pada Selasa (9/6), Gusdurian Malang mendapatkan tamu
dari milis gerakan social change.org Dhenok Pratiwi. Bertempat di Kedai Kopi
Tjangkir13, mereka mengupas tuntas mengenai kampanye online, petisi, juga
gerakan-gerakan perubahan yang mungkin diwujudkan melalui kekuatan jaringan.
Dilanjutkan pada Kamis (11/6), bekerja sama dengan Psyconews, Gusdurian Malang
me-launching komik terbaru Aji Prasetyo, salah satu penggerak Gusdurian Malang.
Bertempat di Aula Fakultas Psikologi UIN Malang, komik berjudul Teroris Visual
itu tak hanya dinikmati ceritanya, tetapi juga diuraikan mengenai kritik sosial
yang ingin disampaikan. Hari berikutnya Jumat (12/6), Gusdurian kembali
mengadakan diskusi tokoh. Mengangkat tema Keislaman dan Keindonesiaan Gus Dur,
acara dilangsungkan di Wisma Kalimetro, Merjosari.
Tak berhenti di situ, pertengahan Ramadan ini, Gusdurian akan
turut andil dalam kegiatan OBOR 2. Sebuah parade dialog lintas iman yang
dilangsungkan selama lima hari berturut-turut. Mengangkat tema Kalau Nggak
Kenal, Gimana Bisa Damai?, dialog tersebut dilangsungkan di empat lokasi.
Diungkapkan koordinator Gusdurian Muda Malang Fauzan, kegiatan
berlangsung mulai 29 Juni hingga 3 Juli mendatang. ”Lokasinya di Kecamatan
Donomulyo, Pesantren Gasek, Kecamatan Wagir, dan Desa Boro,” urai dia.
Keempat lokasi tersebut dipilih karena memiliki basis keagamaan
yang berbeda. Seperti di Donomulyo yang banyak penduduknya memeluk agama
Kristen, begitu pula di Kecamatan Wagir dengan warga beragama Hindu, dan di
Desa Boro yang banyak penduduknya memeluk agama Buddha.
Ya, komunitas ini memang banyak bergerak mengangkat isu
pluralisme. Sebab, pluralisme merupakan satu perwujudan dari sembilan nilai
yang menjadi perhatian utama Gus Dur. Yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan,
kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, serta kesederhanaan, sikap kesatria, dan
kearifan tradisi. Diungkapkan salah satu penggerak Gusdurian Malang Dr Mohammad
Mahpur MSi, komunitas ini memfokuskan sinergi kerja nonpolitik praktis (politik
kepartaian) pada dimensi-dimensi yang telah ditekuni Gus Dur. ”Meliputi empat
dimensi besar, yakni Islam dan kaitannya dengan keimanan, kultural, negara,
serta kemanusiaan,” tutur dosen Fakultas Psikologi UIN Malang tersebut.
Gusdurian berusaha agar nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur
tetap hidup. ”Saat ini yang sudah cukup solid terbentuk di Malang adalah
jaringan lintas agama dan jaringan budaya,” terang dia. Selain diskusi, banyak
kegiatan yang telah dilakukan, di antaranya adalah mengadakan buka bersama
dengan beberapa panti asuhan, mengadakan kunjungan dan dialog di gereja dan
ruang publik, serta merancang sebuah buku yang berisi kumpulan pemikiran pemuda
tentang perdamaian.
Contoh kegiatan yang melibatkan unsur lintas agama, adalah
perayaan haul atau peringatan kematian Gus Dur. Jika haul kiai atau ulama
biasanya digelar di pondok pesantren atau di masjid. Namun, khusus untuk haul
Gus Dur di Kota Malang, peringatannya digelar di Gereja Katedral Katolik Santa
Maria Ijen, pada 5 Januari lalu. Dalam peringatan haul kelima tersebut,
tokoh-tokoh lintas agama dari Gusdurian Malang, Pemuda Gereja Kristen Indonesia
(GKI), dan Pemuda Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) menggelar acara bertajuk
Mendoakan Gus Dur, Mendoakan Indonesia. ”Acara itu juga melibatkan
pemuda-pemudi lintas agama mulai dari agama Islam, Hindu, Protestan, Katolik,
Khonghucu, Buddha, dan juga ada Kejawen. Juga mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi dari berbagai daerah di Indonesia,” papar Mahpur.
Gusdurian juga terlibat dalam aksi perdamaian seperti yang
digelar di eks Bioskop Kelud pada akhir Januari lalu. ”Terbaru, kami mengadakan
diskusi tentang Islamisme, Indonesianisme, dan Internasionalisme Gus Dur di
Wisma Kalimetro, 12 Juni lalu,” terangnya. Keberadaan Gusdurian di Malang ini
sudah menyebar dan melibatkan mahasiswa dari berbagai universitas. Di antaranya
Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Muhammadiyah
Malang, Universitas Ma Chung, dan lain-lain. ”Selama masih terus berkegiatan,
berarti anak muda Malang masih peduli untuk menghidupkan pemikiran-pemikiran
Gus Dur, terutama dalam hal perdamaian, toleransi, dan pluralitas,” pungkas
dia.
Sementara itu, tentang pembentukan Gusdurian sendiri berawal
dari sekelompok pemuda dengan inisiasi dari keluarga dan sahabat Gus Dur, di
antaranya putri pertama Gus Dur Alissa Qotrunnada atau yang akrab disapa Alissa
Wahid, 30 Juni 2010 bersepakat membentuk Komunitas Gusdurian di wilayah Jakarta
dan sekitarnya. Diungkapkan penggerak Gusdurian Malang Anas Ahimsa, komunitas
ini diperuntukkan untuk melestarikan dan meneruskan pemikiran Gus Dur.
”Kepergian Gus Dur oleh banyak pengikutnya dinilai masih menyisakan ide-ide dan
perjuangan yang layak diteruskan,” jelas Anas.
Keberadaan Gusdurian selain sebagai wadah koordinasi, juga
dijadikan sarana sinergi agar ide-ide Gus Dur dapat dilanjutkan dengan baik dan
teorganisasi. ”Komunitas ini murni berbicara dan bergerak atas dasar pemikiran
sosial Gus Dur nonpolitik,” tegas dia.
Gerakan tersebut meluas ke berbagai penjuru Indonesia.
Setidaknya 130-an komunitas Gusdurian lokal telah dirintis hingga akhir tahun
2012. Mulai Jogjakarta, Bandung, Cirebon, Jombang, beberapa kota di luar Jawa
seperti Sulawesi Selatan, tak ketinggalan di Malang. ”Di Malang, keberadaan
Gusdurian berkembang. Muncullah GARUDA, sebuah singkatan dari Gerakan Gusdurian
Muda,” urai Anas.
Berbasis mahasiswa dan aktivis-aktivis muda, Garuda menjadi
komunitas kultural yang bergerak di bidang kajian dalam bingkai spirit
pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang berbasis di Kota Malang. Terbentuk pada
2011 lalu, diinisiasi oleh para pemuda dalam forum cangkrukan warung kopi,
dengan modal semangat yang sama untuk belajar menelaah pemikiran Gus Dur,
meneruskan serta meneladani perjuangannya. (lil/c2/abm)
Sumber: http://bit.ly/1OSZikM
0 komentar:
Posting Komentar